Kamis, 19 Agustus 2010

PERKATAAN ATH THURTHUSI (520 H ) TENTANG KITAB IHYA ULUMUDDIN

Beliau berkata dalam suatu uraian (surat) yang ditulis untuk Abdullah bin Al Muzhaffar seputar Al Ghazali:

Ketika ia (Al Ghazali) menulis kitabnya, ia memberi judul Ihya Ulumuddin. la sengaja berbicara tentang ilmu-ilmu kondisi dan tingkatan-tingkatan kaum sufi, padahal dia tidak banyak mengetahui tentang hal itu dan tidak memahaminya dengan baik.

Beliau memenuhi kitabnnya itu dengan kedustaan atas nama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, saya tidak mengetahui satu kitab pun di muka bumi ini, sepanjang sepengetahuanku, yang paling banyak kedustaannya terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selain kitab itu.

la terperangkap dengan aliran-aliran filsafat dan ajaran-ajaran (yang ada) dalam kitab Rasaail Ikhwanush Shafaa yang berpendapat bahwa derajat nubuwwah (kenabian) dapat diperoleh dengan usaha. Dan menurut sangkaan mereka kenabian itu tidak lebih dari seorang yang berakhlak mulia dengan kebaikan-kebaikan budi pekerti, menjauhi akhlak yang tidak baik dan mengembangkan diri sehingga dapat mengendalikan dirinya. Dengan begitu syahwatnya tidak dapat mengalahkannya dan kejelekan akhlaknya tidak dapat memaksa untuk berbuat semaunya serta membentuk manusia yang lain dengan akhlak tersebut...

Sampai ia (Ath Thurthusi) berkata:

...Sungguh Allah telah memuliakan Islam, menjelaskan hujjah-Nya, menegakkan dalil-Nya dan mematahkan alasan makhluk-makhluk-Nya dengan hujjah-Nya yang jelas dan dalil-dalil-Nya yang pasti yang sekaligus membatalkannya. Tidaklah seseorang dapat menolong agama Islam dengan menggunakan teori-teori filsafat dan ide-ide mantiq melainkan seperti orang yang mandi dengan air kencing.

Kemudian ia (Al Ghazali) menguraikan perkataannya yang menyayat dan menggetarkan hati, sekaligus memberikan angan-angan dan membuat rindu, sehingga apabila jiwa-jiwa manusia telah keheranan, ia pun berkata, "Ini adalah bagian dari ilmu kasyaf dan tidak boleh ditulis dalam kitab." Atau ia berkata, "Dan ini adalah di antara rahasia taqdir (Alloh) yang kita dilarang untuk menyebarkannya."

Ini adalah amalan para pengikut aliran batiniyah dan (amalan) para pembuat kerusakan serta para penyusup ke dalam agama Allah. Mereka memanfaatkan perkataan Al Ghazali ini dan membebani jiwa-jiwa dengan sesuatu yang tidak ada wujudnya. Hal itu adalah gangguan terhadap keyakinan-keyakinan hati dan pelemahan terhadap persatuan jama 'ah.

Maka apabila orang ini (Al Ghazali) berkeyakinan dengan apa-apa yang ia tulis dalam kitabnya, maka dia tidak jauh dari kekaflran dan apabila ia tidak meyakininya, maka sangat dekatlah ia kepada kesesatan.

Adapun tentang pembakaran kitab tersebut, sesungguhnya jika kitab itu dibiarkan tersebar di antara orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang racun-racunnya yang mematikan, ditakutkan mereka akan berkeyakinan bahwa kesesatan yang tertulis di dalamnya adalah kebenaran. Maka hendaklah kitab tersebut dibakar dengan menyamakan (mengqiyaskan) kepada apa yang dibakar oleh para sahabat radliallahu 'anhum yaitu lembaran-lembaran mushaf yang di dalamnya terdapat perselisihan lafadz dan beberapa kekurangan. Tidakkah engkau melihat bahwa seandainya mereka tidak membakarnya, maka lembaran-lembaran tersebut akan tersebar ke penjuru dunia dan setiap orang akan berusaha mempertahankan apa yang telah mereka miliki dari lembaran-lembaran tersebut sehingga mereka akan berselisih, bertengkar dan saling memu-tuskan hubungan, akibat perbedaan-perbedaan yang ada di dalamnya.

Sesungguhnya saya bertekad untuk melakukan hal itu sendiri kemudian mengeluarkan seluruh kekeliruan dan menjelaskan kesalahan-kesalahannya serta menerangkan hal itu satu demi satu.

Sebetulnya masih banyak kitab-kitab lain yang lebih bermanfaat dan memadai bagi saudara-saudara kita kaum muslimin secara umum maupun tingkatan orang-orang shalih.

Sebagian besar orang yang mencintai kitab ini dengan kecintaan yang menggebu-gebu adalah orang-orang shalih (ahli ibadah) yang tidak memiliki pengetahuan tentang kewajiban-kewajibannya terhadap akal dan dasar-dasar agama, tidak memahami (konsep-konsep) ketuhanan dan tidak mengetahui hakikat sifat-sifat (Allah).

sumber: ihya' ulumuddin dalam pandangan ulama' oleh syaikh ali hasan bin ali abdul hamid

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar