Jumat, 20 Agustus 2010

FITNAH SEKITAR TERBUNUHNYA USTMAN BIN AFFAN RA : STUDI KRITIS ATAS KAJIAN FARAQ FAUDA

oleh : Asep Sobari, Lc

Peristiwa terbunuhnya Usman ra. (semoga Allah senantiasa meridhai dan memuliakannya) selalu menjadi sajian menarik dalam buku-buku sejarah. Para sejarawan yang tidak kritis selalu mengaitkannya dengan tuduhan KKN yang dilakukan Usman. Padahal tuduhan-tuduhan tersebut tidak pernah terbukti, kecuali hanya omongan kosong yang datang dari orang-orang yang benci terhadap beliau dan agama Islam. Salah satunya yang akan disoroti dalam artikel ini adalah tuduhan Farag Fauda dalam bukunya al-Haqiqah al-Gha’ibah (edisi Indonesia: Kebenaran yang Hilang) yang diterbitkan oleh Yayasan Wakaf Paramadina dan Dian Rakyat.[i] Ironisnya, buku ini justru mendapat apresiasi yang berlebihan dari Prof. Azyumardi Azra danProf. Syafi’i Maarif.

Konspirasi Para Sahabat dalam Membunuh Usman RA?

Dalam buku ini, peristiwa terbunuhnya sahabat dan menantu Rasulullah saw. ini dicitrakan sangat buruk sekali oleh Fouda. Usman ra. digambarkan sebagai sosok sangat zalim sehingga menyulut kemarahan seluruh rakyatnya, termasuk tokoh-tokoh utama sahabat Nabi saw. Alhasil, menurut Fouda, sahabat-sahabat yang saleh tersebut terlibat langsung atau mendukung pembunuhan terhadap Usman ra.

”Namun Usman membawa umat Islam ke dalam polemik tentang sosok dirinya. Para pemimpin di dalam Ahl al-Hall wa al-’Aqdi membuat konsensus untuk melarikan diri dari kepemimpinannya, baik lewat cara pemecatan menurut kalangan ahli pikirnya, maupun kekerasan menurut kalangan garis kerasnya. Wibawanya terguncang di mata rakyat, sampai sebagian masyarakatnya menghunus pedang yang siap mencincangnya dan menohoknya ketika berada di atas mimbar. Bahkan sebagian menghinanya dengan sebutan Na’tsal, sebutan untuk orang Kristen Madinah bernama Na’tsal yang kebetulan berjenggot lebat seperti Usman. Para pemuka sahabat pun menentangnya, ini adalah sesuatu yang sangat terang benderang menunjukkan bahwa ia keluar dari ketentuan al-Quran dan Sunnah. Karena itu, muncul seruan secara terang-terangan untuk membunuhnya. Hadits Aisyah meriwayatkan: “Bunuhlah Na`tsal, dan terlaknatlah Na`tsal.” (KYH, hal. 25).

Riwayat `Aisyah ini adalah versi terjemah bahasa Indonesia. Dalam edisi bahasa aslinya, ditulis oleh Fouda, “Haytsu yurwa ‘an `Aisyah qauluha uqtulu Na’tsalan wa la’anallaahu Na’tsalan.” Jadi, menurut Fouda, Aisyah sendiri yang mengutuk Utsman dan memerintahkan pembunuhan terhadap Usman. Dengan cara seperti itu, Fouda sedang menggiring pembaca pada sebuah kesimpulan bahwa pembunuhan Usman sudah selayaknya terjadi. Menurut Fouda, peristiwa tersebut melibatkan atau setidaknya mendapat dukungan dari para pemuka Sahabat, seperti Ali, Zubair, Thalhah, Sa`id bin Zaid, Ibn Umar, Ibn Abbas dan lain-lain, yang tergabung dalam Ahl al-Hall wa al-`Aqd. Padahal, faktanya, sama sekali tidak seperti itu. Para sahabat itu sama sekali tidak terlibat dalam pembunuhan Usman.

Sayangnya, baik di sini maupun di tempat lain, Fouda tidak menyebut data yang lebih spesifik dan rujukan yang dapat diukur kebenarannya. Sedangkan seruan membunuh Usman yang diriwayatkan `Aisyah, dikutip Fouda dari dua penulis kontemporer, Abbas al-`Aqqad dan Ahmad Amin, sehingga sulit ditelusuri siapa yang menyuarakan seruan itu sebenarnya. Padahal, `Aisyah ra. sendiri, seperti diriwayatkan Bukhari dalam al-Tarikh al-Kabir dengan sanad yang baik, mengutuk pembunuh Usman, “Usman dibunuh secara zalim. Terkutuklah pembunuhnya”.[ii] Sejarah kemudian juga mencatat, bahwa Aisyah ra. justru sangat gigih dalam menuntut diadilinya para pembunuh Usman.

Dengan metode penyajian data yang sangat lemah, Fouda begitu cepat mengambil kesimpulan yang meyakinkan, bahwa para sahabat Nabi saw. terlibat pembunuhan terhadap Usman ra. Padahal jika mau sedikit bersusah payah, Fouda tidak akan sulit mendapatkan sejumlah kajian kontemporer yang telah lebih dulu membahas masalah ini dengan sangat cermat dan komprehensif.

Sebagai contoh adalah karya DR. Muhammad Amahzun yang berjudul Tahqiq Mawaqif al-Shahabah fi al-Fitnah min Riwayat al-Imam al-Thabari wa al-Muhadditsin[iii] (Penilitian terhadap Sikap para Sahabat tentang Fitnah menurut Riwayat-riwayat Imam al-Thabari dan Ahli Hadits). Dalam buku yang berasal dari disertasi doktor di Universitas Muhammad I Maroko ini, Amahzun melakukan penelitian terhadap sikap para sahabat Nabi saw. semasa pengepungan Usman ra. dan setelah pembunuhannya dalam 28 halaman.

Menurut Amahzun, riwayat-riwayat yang menyebut keterlibatan sahabat dalam pembunuhan Usman ra. berasal dari sumber-sumber yang lemah atau sangat lemah. Abu Mikhnaf, al-Waqidi dan Ibn A`tsam, serta beberapa sejarawan Akhbari lainnya, adalah sumber utama riwayat-riwayat tersebut. Abu Mikhnaf, sebagaimana dijelaskan di atas, adalah seorang sejarawan tendensius dan penganut Syi`ah yang sangat fanatik, sehingga mudah dipahami mengapa dia begitu gencar melontarkan hujatan dan tudingan tidak berdasar kepada sosok Usman ibn Affan ra.[iv]

Ada juga beberapa riwayat yang bila dilihat sekilas tampak kuat karena beberapa perawinya sangat terpercaya di kalangan ahli hadits, seperti al-Zuhri dan Sa`id ibn al-Musayyib. Dari riwayat mereka tersebut dapat disimpulkan bahwa al-Zubair ibn al-`Awwam, Abu Dzar al-Ghifari, Ibn Mas`ud, `Ammar ibn Yasir dan sejumlah sahabat lainnya terlibat dalam konspirasi pembunuhan Usman ra. dan para pemberontak yang mengepung Usman ra. adalah pihak yang benar, sedangkan Usman ra. adalah pendosa yang harus melakukan taubat secara terbuka.

Jika diteliti lebih jauh, sebenarnya riwayat-riwayat tersebut bermasalah. Salah seorang perawi pada sanad yang sampai kepada al-Zuhri, yaitu Umar ibn Hammad adalah seorang penganut Rafidhah (Syi`ah ekstrim). Dia juga suka melontarkan tuduhan kepada Usman ra. dan menyampaikan riwayat-riwayat munkar.[v] Sedangkan pada sanad riwayat Ibn al-Musayyib terdapat perawi yang sengaja disembunyikan (tadlis), yaitu Isma`il ibn Yahya ibn `Ubaidillah. Perawi ini diduga kuat memalsukan hadits dan berbohong. Karenanya, ulama-ulama hadits seperti Bukhari, Ibn Hibban dan Hakim menilai riwayat Isma`il ibn Yahya ini lemah.[vi]

Terlepas dari lemahnya riwayat-riwayat yang menyebut keterlibatan para sahabat dalam pembunuhan Usman ra., justru banyak sekali riwayat-riwayat yang kuat dan lebih teruji yang menyatakan sebaliknya. Riwayat-riwayat ini tidak hanya berasal dari sumber-sumber Akhbari, melainkan juga ahli hadits seperti Imam Ahmad, Bukhari, Ibn `Asakir, Ibn Abi Syaibah, al-Darquthni, Ibn Hajar, al-Haitsami dan lain-lain. Bahkan, Ibn `Asakir melakukan penilitian khusus dengan menghimpun seluruh sumber riwayat yang menyatakan bebasnya Ali ra. dari keterlibatan dalam pembunuhan terhadap Usman ra. Hasilnya, Ali ra. bersumpah berkali-kali dalam berbagai pidato yang disampaikannya, bahwa dirinya tidak membunuh Usman ra. ataupun menyetujuinya.[vii]

Tidak hanya Ali ra., riwayat-riwayat tersebut juga menjelaskan sikap sahabat-sahabat lain yang membuktikan mereka sama sekali tidak terlibat, bahkan justru sebaliknya, turut membela dan menawarkan bantuan kepada Usman ra. Di antara para sahbat tersebut adalah Thalhah ibn `Ubaidillah, `Aisyah, al-Zubair ibn al-`Awwam, Sa`ad ibn Abi Waqqash, Sa`id ibn Zaid, Hudzaifah ibn al-Yaman, Anas ibn Malik, Ummu Sulaim, Abu Hurairah, Abu Bakrah, Abu Musa al-Asy`ari, Samurah ibn Jundub, `Ammar ibn Yasir, Ibn Mas`ud, `Amr ibn al-`Ash, Usamah ibn Zaid, Haritsah ibn Nu`man, Abdullah ibn Salam, Abdullah ibn Umar, Ibn Abbas, al-Hasan ibn Ali, Abu Humaid al-Sa`idi, Salamah ibn al-Akwa`, Ka`ab ibn Malik dan Hassan ibn Tsabit dan lain-lain.[viii]

DR. Muhammad Amahzun bukan orang pertama dan satu-satunya yang melakukan kajian mendalam tentang masalah ini. Sejumlah ulama telah lebih dulu melakukannya, sebut saja Abu Bakr ibn al-`Arabi (w.543H) dalam karyanya, al-`Awashim min al-Qawashim, dan `Abd al-Halim Ibn Taimiyah (w.728H) dalam beberapa karya monumentalnya, terutama Minhaj al-Sunnah. Karya-karya yang menaruh perhatian serupa kini terus bermunculan, seperti Daur al-Mar’ah al-Siyasi fi `Ahd al-Nabi saw. wa al-Khulafa’ al-Rayidin[ix] (2001), karya Asma’ Muhammad Ziyadah. Tesis master di Dar al-`Ulum-Cairo University ini lebih banyak membahas peran politik `Aisyah ra., terutama selama masa fitnah yang membawanya kepada Perang Jamal. Karya lain yang tidak boleh luput tentunya adalah `Ashr al-Khilafah al-Rasyidah; Muhawalah li Naqd al-Riwayah al-Tarikhiyah wafq Manahij al-Muhadditsin (1995), karya Prof. DR. Akram al-Umari. Seperti tertera pada judulnya, karya Prof. al-Umari ini merupakan sebuah upaya penerapan metode kritik ahli hadits pada riwayat-riwayat sejarah.

Dengan tersedianya begitu banyak karya yang telah meneliti masalah seputar pembunuhan Usman ra. dan sikap para sahabat terhadapnya, seharusnya tidak terlalu sulit bagi Farag Fouda untuk menyajikan fakta-fakta yang kuat dan menghindari riwayat-riwayat yang jelas terbukti lemah. Dengan begitu, Fouda tidak mudah membuat penafsiran dan kesimpulan yang akibatnya malah menghilangkan kebenaran, seperti berikut,

”Ia (Usman) terbunuh oleh tangan umat Islam sendiri yang bersepakat memberontak dan mengepung rumahnya. Dan anda dapat saja membayangkan bahwa kematian Usman telah melegakan hati sebagian umat Islam. Bahkan, permusuhan sebagian umat Islam atas dirinya berlangsung setelah kematiannya....” (KYH, hal. 25)



Usman ra. Dimakamkan di Pekuburan Yahudi?

Kelemahan Fouda juga terlihat saat mengutip salah satu riwayat al-Thabari tentang prosesi pemakaman Usman dan menerimanya bulat-bulat sebagai fakta yang benar. Riwayat yang termuat dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk itu menyebutkan,

“Mayat Usman harus bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan. Ia ditandu empat orang, yaitu Hakim bin Hizam, Jubair bin Math`am, Niyar bin Makram dan Abu Jahm bin Huzaifah. Ketika ia disemayamkan untuk dishalatkan, datanglah sekelompok orang Anshar yang melarang mereka untuk menyalatkannya. Di situ ada Aslam bin Aus bin Bajrah as-Saidi dan Abu Hayyah al-Mazini. Mereka juga melarangnya untuk dimakamkan di pekuburan Baqi`. Abu Jaham lalu berkata, ‘Makamkanlah ia karena Rasulullah dan para malaikat telah bershalawat atasnya’. Akan tetapi, mereka menolak, ‘Tidak, ia selamanya tidak akan dimakamkan di pekuburan orang Islam. Lalu mereka memakamkannya di Hisy Kaukab (sebuah areal pekuburan Yahudi). Baru tatkala Bani Umayyah berkuasa, mereka memasukkan areal pemakaman Yahudi itu ke dalam kompleks Baqi`” (KYH, hal. 26).

Berdasarkan riwayat ini dan lainnya, lalu Fouda menarik beberapa kesimpulan; 1). Jenazah Usman tidak dapat dimakamkan sampai dua malam; 2). Sebagian muslim menolak untuk menyalatkannya; 3). Jenazahnya dilempari batu, diludahi dan salah satu persendiannya dipatahkan; 4). Usman dimakamkan di pekuburan Yahudi. (KYH, hal. 26-27).

Bagi sebagian orang, “fakta-fakta” semacam itu tentu mencengangkan. Seolah-olah itu hal baru yang selama ini disembunyikan para sejarawan Muslim. Bagaimana tidak, Usman bin Affan; sahabat dan menantu Rasulullah saw., khalifah ketiga, si pemalu yang membuat malaikat pun malu kepadanya, penyedia air bersih di Madinah, penyebab Bai`at al-Ridhwan di Hudaibiyah, peraih jaminan masuk surga dan sederet predikat baik lainnya, diperlakukan setragis itu di akhir hayatnya?!

Tapi, sebagian orang di Indonesia justru bersorak gembira menerima cerita sumir dari Fouda tentang Usman r.a. Itulah yang kemudian dilakukan oleh Goenawan Muhamad, Samsu Rizal Panggabean, Prof. Dr. Azumardi Azra dan Prof. Dr. Syafii Maarif. Ironisnya, dua nama terakhir itu justru dikenal sebagai guru besar ilmu sejarah. Mereka memuji-muji buku Fouda. Padahal, tanpa harus menjadi profesor sejarah, seorang dengan mudah dapat melihat kelicikan Fouda dalam menipulasi data sejarah. Cukup melacak kitab sejarah yang ditulis al-Thabari dalam subjudul, Dzikr al-Khabar `an al-Mawdhi` al-Ladzi Dufina fihi `Utsman…[x] Buku inilah yang dirujuk dengan tidak cermat oleh Fouda. Simaklah fakta-fakta yang tersaji dalam Kitab al-Thabari tersebut,

1. Terkait masalah prosesi pemakaman Usman, al-Thabari sebenarnya menyebut 9 riwayat dari 4 sumber, dengan urutan seperti berikut; Ja`far bin Abdullah al-Muhammadi (2 riwayat), al-Waqidi (4 riwayat), Ibn Sa`ad (1 riwayat), dan Saif bin Umar (2 riwayat). Riwayat yang dikutip Fouda di atas adalah riwayat ketiga al-Waqidi.

2. Redaksi riwayat-riwayat tersebut berbeda-beda dan banyak yang kontradiktif;

a. Kapan Usman dimakamkan? Usman dibunuh pada hari Jum`at pagi. Sedangkan pemakamannya, menurut riwayat al-Muhammadi: setelah tiga hari; riwayat kedua al-Waqidi: malam itu juga; dan riwayat pertama Saif: malam itu juga.

b. Siapa yang menshalatkan jenazah Usman? Menurut riwayat pertama al-Waqidi: Jubair bin Muth`im, Hakim bin Hizam, dan 12 orang lainnya; riwayat kedua al-Waqidi: Jubair bin Muth`im, Huwaithib bin `Abd al-`Uzza, Abu Jahm bin Hudzaifah, Hakim bin Hizam, dan Niyar al-Aslami; riwayat pertama Saif: Marwan bin al-Hakam, Zaid bin Tsabit, Thalhah bin `Ubaidillah, Ali, al-Hasan bin Ali, Ka`ab bin Malik, dan sejumlah sahabat lainnya; dan riwayat kedua Saif: Marwan bin al-Hakam.

c. Di mana jenazah Usman dimakamkan? Menurut riwayat pertama al-Muhammadi: Hasy Kaukab; riwayat kedua al-Muhammadi: sebuah kebun di luar (Baqi`); riwayat pertama al-Waqidi: Baqi`; riwayat kedua al-Waqidi: perkebunan dekat Baqi`; riwayat keempat al-Waqidi: Baqi`; riwayat Ibn Sa`ad: Hasy Kaukab; dan riwayat pertama Saif: areal Baqi` yang berdampingan dengan Hasy Kaukab.

Melihat perbedaan redaksi yang begitu mencolok, tampak kelicikan Fouda ketika mencatut riwayat ketiga al-Waqidi untuk mendukung argumentasinya. Pengutipan riwayat tersebut menunjukkan bahwa Fouda tidak cermat dan tidak komprehensif dalam mengutip riwayat, karena hanya mengambil satu riwayat yang lemah sumbernya. Semua riwayat itu adalah lemah, dan anehnya Fouda sengaja mengambil satu saja riwayat yang lemah. Itupun baru seputar riwayat-riwayat al-Thabari. Lantas bagaimana jika dibandingkan dengan riwayat-riwayat kitab lain, misalnya al-Thabaqat al-Kubra, karya Ibn Sa’ad. Dalam kitab ini, Ibn Sa`ad menyebut beberapa riwayat dari `Amr bin Abdullah dan al-Waqidi yang jelas-jelas menyatakan Usman dimakamkan langsung pada malam harinya di Baqi`.[xi] Jadi, dengan hanya menyebut satu riwayat yang lemah, Fouda jelas-jelas melakukan upaya menipulasi data sejarah dengan membuat kesan seolah-olah hanya ada riwayat itu saja

Keterangan tentang Hasy Kaukab sebagai areal pekuburan Yahudi dalam buku Fouda (hal. 26), menjadi titik paling krusial di sini. Keterangan tersebut tidak tercantum dalam redaksi riwayat al-Waqidi yang dikutip Fouda. Bahkan juga tidak terdapat dalam riwayat-riwayat lain yang disebut al-Thabari. Di sini Fouda telah melakukan kecurangan! Dan, akibatnya sangat fatal bagi siapa pun yang membaca bukunya, karena akan membayangkan, bahwa Usman r.a. dimakamkan bukan di pemakaman Islam, tetapi di pemakaman Yahudi. Inilah salah satu fitnah dan kejahatan besar yang dilakukan Fouda dalam melecehkan menantu Rasulullah dan salah satu sahabat Nabi terkemuka.

Kesimpulan

Kasus pembunuhan Usman sebenarnya telah ditelaah secara mendalam dalam tesis master Muhammad al-Ghabban di Universitas Islam Madinah dengan judul Fitnat Maqtal `Utsman. Dalam tesisnya, al-Ghabban meneliti dengan cermat semua riwayat tentang prosesi penyalatan dan pemakaman Usman. Kesimpulannya, tidak ada satu pun riwayat yang benar-benar shahih, tetapi semuanya lemah. Hanya saja, ada sebagian yang saling menguatkan. Di antaranya, jenazah Usman dishalatkan dan dimakamkan di Hasy Kaukab, sebuah kebun dekat Baqi` yang kemudian dimasukkan ke dalam areal Baqi`[xii]. Jadi, sebenarnya, riwayat yang menyatakan bahwa Usman dimakamkan di pemakaman Yahudi, sama sekali tidak ada, dan itu adalah fantasi Fouda sendiri. (mm)

* Artikel ini merupakan sebagian dari Makalah Asep Sobari, Lc. yang berjudul “Kerancuan Perspektif

Sejarah Islam Kaum Liberal (Studi Kasus Buku Kebenaran yang Hilang, Karya Farag Fouda)” dalam

acara Dialog Ilmiah Reguler InPAS ke-4 di Masjid Al-Akbar Surabaya, Sabtu, 21 Februari 2009.

[i] Untuk mempermudah, selanjutnya penyebutan ini kami singkat KYH, yakni Kebenaran yang Hilang

[ii] Fitnat Maqtal `Utsman ibn `Affan, Muhammad al-Ghabban, hal. 426.

[iii] Buku DR. Muhammad Amahzun ini telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh DR. Daud

Rasyid dkk. dengan judul Fitnah Kubra

[iv] Tahqiq Mawaqif al-Shahabah, vol. 2 hal. 14.

[v] Ibid, vol. 2 hal. 16.

[vi] Ibid, vol. 2 hal. 17.

[vii] Ibid, vol. 2 hal. 23.

[viii] Ibid, vol. 2 hal. 19-41.

[ix] Buku ini telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dengan judul Peran Politik Wanita, terbitan

Pustaka al-Kautsar.

[x] Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Ibn Jarir al-Thabari, vol. 2 hal. 687.

[xi] Al-Thabaqat al-Kubra, Ibn Sa`ad, vol. 3 hal. 77-78.

[xii] Fitnat Maqtal `Utsman, hal. 260-261

sumber: inpasonline.com

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar