Kamis, 26 Agustus 2010

HADITS AHAD: DALAM PANDANGAN PARA ULAMA

A. PANDANGAN IMAM ASY-SYAFI'I RAHIMAHULLAH TENTANG HADITS AHAD.

TA'RIF (DEFINISI) HADITS AHAD.

Para ulama hadits dan ushul fiqih membahagi hadits Rasulullah menjadi dua bahagian, Mutawatir dan Ahad.

1. Hadits Mutawatir adalah, hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut adat dan logika, mereka tidak mungkin berdusta, diriwayatkan dari orang banyak seperti mereka pula dan mereka menyandarkan hadits ini kepada sesuatu yang bisa dirasakan oleh indera.

2. Hadits Ahad ialah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir atau tidak memenuhi sebagian dari syarat-syarat mutawatir.119

Dari segi diterima dan ditolaknya, hadits Ahad terbagi menjadi beberapa bahagian, di antaranya ada yang maqbul (diterima) dan ada yang mardud (ditolak) sesuai dengan keadaan perawinya baik berkenaan dengan keadilannya, hafalan-nya dan hal-hal lain yang menjadi syarat diterimanya hadits.

Imam asy-Syafi'i rahimahullah telah menyebutkan pembahagian ini dan menamakannya ilmu orang umum dan ilmu orang khusus.

Imam asy-Syafi'i rahimahullah bercerita:

Ada orang yang bertanya kepadaku: "Apa yang dimaksud dengan ilmu itu dan ilmu apa yang wajib bagi manusia." Aku menjawab: "Ilmu terbagi dua, ilmu orang awam, di mana orang yang baligh dan waras akalnya harus mengetahuinya." "Contohnya apa?" Kata si penanya. Aku menjawab: "Contohnya adalah shalat lima waktu, wajib-nya puasa Ramadhan dan pergi haji ke Baitullah manakala mereka mampu dan wajibnya zakat pada harta mereka. Juga seperti Allah telah mengharamkan zina, membunuh, mencuri, minuman keras dan hal lain yang seorang hamba diwajibkan untuk mengetahui dan mengamalkannya serta mengeluarkan dari diri dan harta benda mereka untuk memperolehnya, dan mencegah diri mereka dari apa yang diharamkan Allah. Jenis ilmu ini disebutkan dengan jelas oleh nash al-Qur'an al-Karim dan telah dikenal di kalangan umat Islam. Ilmu ini telah disampaikan oleh orang-orang awam kepada generasi setelah-nya yang mereka dapatkan dari orang awam sebelumnya yang datang dari Rasulullah. Sehingga ilmu ini tidak diperselisihkan dan bahwa mematuhinya dengan wajib tidak diperdebatkan, karena semua orang tahu, termasuk orang awam sekalipun."

Ini adalah ilmu umum yang beritanya tidak mungkin salah dan penafsirannya tidak mungkin keliru serta tidak mungkin diperselisihkan.

Si penanya bertanya: "Yang kedua ilmu apa?" Imam asy-Syafi'i rahimahullah menjawab: "Tentang faraidh, ahkam dan masalah-masalah lainnya yang hanya diketahui oleh orang-orang khusus dan terdiri dari ilmu atau masalah yang tidak disebutkan oleh nash al-Qur'an, juga yang sebagian besarnya tidak ada nashnya dalam as-Sunnah kecuali hanya sedikit. Ilmu ini adalah ilmunya orang-orang khusus, bukan ilmunya orang-orang awam, yang mengandung kemungkinan dapat dita'wil dan diqiyas."120

Di tempat lain, Imam asy-Syafi'i rahimahullah berkata: "Ilmu ltu terdiri dari beberapa jenis, di antaranya ada ilmu yang mencakup lahir dan bathin, dan ada yang hanya untuk lahir saja. Yang meliputi lahir dan bathin maksudnya adalah yang telah tegas disebutkan oleh nash Kitabullah dan Sunnah Rasulullah yang disampaikan oleh orang awam dari orang awam yang lain.

Dengan kedua ilmu ini, Allah menjelaskan kehalalan setiap apa yang dihalalkan-Nya dan keharaman setiap apa yang diharamkan-Nya. Inilah ilmu yang wajib diketahui oleh setiap orang dan tidak boleh ragu tentang kewajiban tersebut.

Sedangkan ilmu khusus ialah Sunnah Rasul yang dibawa oleh orang-orang khusus yang diketahui oleh para ulama."121

Selain ucapannya di atas, masih banyak ucapan Imam asy-Syafi'i rahimahullah yang lain dan sebagiannya akan penulis kutipkan, insya Allah saat penulis menyebutkan dalil-dalil Imam asy-Syafi'i rahimahullah tentang wajibnya mengamalkan hadits Ahad.

B. SYARAT-SYARAT SAH DAN DITERIMANYA HADITS MENURUT IMAM ASY-SYAFI'I RAHIMAHULLAH.

Imam asy-Syafi'i rahimahullah bercerita:

Ada sesorang berkata: "Sebutkan kepadaku batas minimal syarat untuk diterimanya hujjah (argumentasi) terhadap ahli ilmu sehingga berita atau riwayat orang khusus diterima dan dianggap bagi mereka." Aku menjawab: "Riwayat satu orang dari satu orang, hingga sampai kepada Nabi atau hingga ke bawah (level terakhir/paling bawah). Hujjah dan argumentasi dengan riwayat satu orang tidak dapat diterima kecuali jika memenuhi sejumlah kriteria.

Di antara kriteria itu adalah yang meriwayatkannya adalah seorang yang tsiqah dalam agama, dikenal jujur dalam berbicara, faham dengan apa yang diriwayatkannya, mengetahui maksud lafazh, dan ketika menyampaikan hadits ia menyampaikannya sesuai dengan apa yang didengarnya persis dengan huruf-hurufnya dan tidak menyampaikannya dengan maknanya (dengan lafazhnya dari dia).

Karena bila ia meriwayatkannya dengan makna (dengan pemahaman dia), padahal ia tidak mengetahui maksud lafazh, maka boleh jadi ia salah memaharm sehingga seharusnya haram, malah ia katakan halal. Dan apabila ia menyampaikannya (meriwayatkannya) dengan huruf-hurufnya, maka tidak dikhawatirkan terjadinya kesalahfahaman.

Ia harus meriwayatkannya seperti itu baik dengan cara dihafal maupun ditulis.

Bila ada ahli penghafal hadits yang lain meriwayatkan haditsnya, maka riwayatnya harus sama dengan riwayatnya itu. Juga ia tidak tergolong seorang mudallis dengan meriwayatkan dari seseorang yang dijumpainya, suatu riwayat yang tidak didengar olehnya, ia harus meriwayatkan dari Nabi riwayat yang tidak berbeda dengan apa yang diriwayatkan oleh orang-orang tsiqah dari Nabi.

Begitulah kriteria yang harus dimiliki, mulai dari perawi terendah (paling bawah) hingga paling atas yang sampai kepada Nabi. Karena masing-masing dari mereka diakui oleh orang yang mengambil riwayatnya dan oleh orang yang riwayatnya diambil darinya, sehingga masing-masing dari mereka harus memenuhi kriteria mi."122

Kriteria yang disebutkan oleh Imam asy-Syafi'i rahimahullah merupakan kriteria yang dibuat oleh para ulama ahli hadits (mushthalah), yaitu:

1. Sanadnya tersambung (tidak putus/muttashil).
2. Para perawinya adil.
3. Perawinya dhabit (tepat dan sempurna hafalannya).
4. Selamat dari syudzudz. Yang dimaksud dengan syudzudz adalah riwayat-nya bertentangan dengan riwayat orang lain yang lebih tsiqah darinya.
5. Selamat dari 'Mat atau cacat yang membuatnya cela.123

Semua syarat atau kriteria ini yang disebutkan oleh Imam asy-Syafi'i rahimahullah pada ucapannya di atas, sekalipun tidak berurutan seperti yang diurutkan oleh para ulama ahli hadits, sudah beliau menunjukkan bahwa betapa dalamnya ilmu Imam asy-Syafi'i rahimahullah dalam bidang hadits. Oleh karena itu, kitab-kitabnya dipenuhi dengan serangkaian dalil dan dasar atas kehujjahan Sunnah, serta bantahan terhadap orang yang menentangnya dan terhadap orang yang mengambil hadits hanya sebagian dan menolak sebagian yang lain.

C. APA YANG DITUNJUKKAN OLEH HADITS AHAD.

Terjadi ikhtilaf antara ulama, apakah hadits Ahad itu menunjukkan kepada ilmu (suatu keyakinan) atau hanya menunjukkan kepada zhann (dugaan)? Ada tiga pendapat tentang masalah ini:

1. Hadits Ahad menunjukkan ilmu (yang yakin) secara mutlak, baik ia didukung oleh beberapa qarinah (indikasi) maupun tidak. Pendapat ini merupakan salah satu pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Sebagian ulama telah menisbatkan pendapat ini kepadanya dengan tanpa menyebutkan riwayat (pendapat) lain darinya. Kemungkinan besar inilah riwayat yang shahih dari Imam Ahmad rahimahullah, karena telah masyhur bahwa beliau menganggap qath'i (pasti) hadits-hadits ru'yat (dilihatnya Allah di hari kiamat) dan hadits-hadits seperti itu.

Menurut Imam Ahmad, hadits-hadits tersebut bisa jadi tergolong hadits mutawatir secara maknawi karena riwayatnya banyak, atau mungkin ia termasuk hadits-hadits Ahad. Tetapi riwayat yang shahih dan masyhur dari Imam Ahmad, bahwa hadits-hadits itu shahih manakala kriterianya terpenuhi.

Imam al-Marwadzi rahimahullah bercerita: 124

Aku telah berkata kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad): "

Ada orang yang mengatakan, bahwa hadits itu wajib diamalkan tetapi tidak wajib diketahui (diyakini)." Abu Abdillah menukas: "Aku tak mengetahui hal itu." Jawaban Imam Ahmad ini merupakan penegasan darinya, bahwa ilmu dan amal itu adalah sama.

Imam al-Hafizh Ibnul Qayyim al-Jauziyah rahimahullah telah mentarjih riwayat ini dan mendha'ifkan riwayat kedua. la mengatakan, bahwa madzhab Ahmad bin Hanbal berpandangan, jika satu hadits memenuhi kriteria shahih, maka hadits tersebut menunjukkan ilmu dan wajib untuk diamalkan.125

Pendapat ini juga merupakan pendapat Imam Malik rahimahullah 126 dan pendapat Imam Ibnu Hazm al-Andalusi rahimahullah.127

Begitu juga pendapat ini adalah pendapat Imam Husain al-Karabisi rahimahullah,128 salah seorang pengikut Imam asy-Syafi'i rahimahullah, pendapat jumhur Salaf dan majoriti fuqaha.129

2. Hadits Ahad menunjukkan zhann secara mutlak, baik disokong oleh beberapa indikasi maupun tidak. Pendapat mi merupakan pendapat para ulama ushul fiqih secara umum yang diikuti oleh sebagian ahli hadits mutaakhkhirin seperti Imam an-Nawawi rahimahullah.-130
3. Hadits Ahad menunjukkan ilmu (yang yakin) apabila ditunjang oleh beberapa indikasi. Pendapat ketiga ini ialah, pendapat sekelompok penganut berbagai madzhab dan ahli ushul fiqih. Inilah pendapat yang didukung oleh Imam al-Amidi rahimahullah.131

Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata:

"Ketahuilah, bahwa selisih pendapat yang kami sebutkan pada awal pembahasan ini, yaitu pembahasan tentang hadits Ahad, bahwa hadits Ahad menunjukkan ilmu (yang yakin) atau zhann, terikat oleh syarat, yaitu bila hadits tersebut tidak ada hadits lain yang memperkuatnya. Adapun jika ada hadits yang memperkuatnya, atau hadits tersebut masyhur atau mustafidh, maka tak ada selisih pendapat antara ulama, seperti yang telah disebutkan.132

Jadi apabila hadits Ahad itu diperkuat oleh beberapa indikasi, maka tidak sedikit ulama yang mengatakan bahwa hadits Ahad tersebut menunjukkan ilmu (yang yakin).

Syaikh al-Islam berkata: "Para ahli ushul fiqih dari pengikut Imam Abu Hanifah, Imam asy-Syafi'i dan Imam Ahmad rahimahumullah berpendapat:

Jika hadits Ahad diterima oleh umat dengan meyakini dan mengamalkannya, maka ia menunjukkan ilmu yang yakin, kecuali menurut sekelompok kecil pengikut ahli ilmu kalam yang mengingkarinya.'"133

Imam al-Futuhi berujar:

]"Ibnu 'Aqil, Ibnu al-Jauzi, al-Qadhi Abu Ya'la, Abu Bakar al-Baqilani, Ibnu Hamid, Ibnu Barhan, Fakhruddin ar-Razi, al-Amidi rahimahumullah dan yang lainnya berpendapat, bahwa apa yang di-riwayatkan secara perseorangan dari umat yang disepakati dan diterima oleh umat, maka ia menunjukkan ilmu yang yakin."

Sedang hadits masyhur dan mustafidh, di antara ulama ada yang mengatakan, bahwa hadits tersebut menunjukkan ilmu yang bersifat nazhari (analisa), dan di antara mereka ada yang berkata, bahwa itu menunjukkan kepada qath'i (pasti).134

Yang jelas tentang ini, bahwa tidak ada seorang pun dari para ulama yang berselisih kecuali kelompok yang telah disebutkan oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, mereka itu adalah dari golongan ahli kalam.

Yang diperselisihkan adalah hadits Ahad itu sendiri, apakah ia menunjukkan ilmu (yang yakin) atau menunjukkan zhann, sebagaimana telah penulis sebutkan pada awal pembahasan.135

Jadi kesalahan terletak pada pernyataan secara mutlak, bahwa hadits Ahad itu menunjukkan kepada ilmu atau zhann. Yang benar adalah, menilainya berdasarkan keadaan hadits Ahad itu sendiri. Seperti keadilan perawinya yang hal itu diketahui oleh tokoh dari para ulama ditambah dengan apakah hadits itu memiliki indikasi (penguat dari hadits ini) atau tidak? 136

D. MENGAMBIL DAN MENGAMALKAN HADITS AHAD.

Para Sahabat dan orang-orang sesudahnya yang terdiri dari para tabi'in dan generasi Salaf umat ini, baik yang mengatakan, bahwa hadits Ahad itu menunjukkan ilmu yang yakin maupun yang berpendapat hadits Ahad menunjukkan zhann, mereka berijma' (sepakat) atas wajibnya mengamalkan hadits Ahad, tidak ada yang berselisih dari mereka kecuali kelompok yang tidak masuk hitungan, seperti sebagian Mu'tazilah dan Rafidhah.137

Al-Khatib al-Baghdadi rahimahullah berkata dalam kaitan ini:

"Keharusan mengamalkan hadits Ahad itu adalah pendapat seluruh tabi'in dan para fuqaha sesudahnya di seluruh negeri hingga kini. Tidak ada keterangan yang sampai kepada kami tentang adanya salah seorang dari mereka yang menentangnya atau menyalahinya."138

Dan pengamalan hadits Ahad menurut kaum Salaf berlaku untuk seluruh perkara agama baik masalah 'aqidah maupun masalah lainnya.

Akan tetapi ahli kalam dan para pelaku bid'ah menyelisihi mereka. Mereka mengatakan:

"Hadits Ahad tidak boleh dipakai untuk masalah 'aqidah, karena landasan 'aqidah/keyakinan adalah bersifat qath'i (pasti), sedangkan hadits Ahad tidak bersifat qath'i, melainkan bersifat zhanni (tidak pasti), sehingga mereka (ahli kalam) menolak tidak sedikit dari hadits-hadits yang menetapkan sebagaian sifat-sifat Allah dan masalah 'aqidah lamnya."139

Sementara Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak membedakan masalah 'aqidah dengan masalah lainnya. Setiap hadits shahih yang datang dari Nabi, mereka terima, mereka pakai dan mereka mengharamkan untuk menyalahinya.

Pengarang Syarh al-Kaukab al-Munir rahimahullah berkata:

"Hadits-hadits Ahad dapat digunakan untuk masalah ushuluddin." Ibnu Abdi al-Barr rahimahullah meriwayatkan, ini adalah ijma' (kesepakatan) ulama.140

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

"Hadits-hadits (Ahad) ini sekalipun tidak menunjukkan kepada yakin, namun la menunjukkan kepada zhann ghalib (dugaan kuat), boleh bagi kita untuk menetapkan Asma dan sifat-sifat Allah dengannya sebagaimana tidak ada larangan menggunakannya untuk menetapkan hukum-hukum yang sifatnya perintah atau larangan (thalab). Jadi, baik dalam masalah 'aqidah maupun dalam masalah hukum/fiqih boleh menggunakan hadits Ahad, tidak ada perbedaan untuk keduanya dalam hal menggunakannya. Jika ada yang membedakan, maka pembedaan itu adalah bathil berdasarkan ijma' (kesepakatan) umat, karena ulamanya umat ini (hingga kini) tetap berargumentasi dengan hadist-hadits seperti itu untuk masalah yang sifatnya berita ('aqidah) dan untuk masalah yang sifatnya thalab (perintah dan larangan).

Para Sahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in dan ahli hadits pun senantiasa mengambil hadits-hadits Ahad ini sebagai dasar berargumentasi dalam masalah-masalah sifat, takdir, Asma Allah dan hukum. Tidak ada satu pun riwayat yang menyebutkan ada satu orang dari mereka yang membolehkan berargumentasi dan berhujjah dengan hadits-hadits Ahad untuk masalah hukum, tapi melarangnya untuk masalah masalah 'aqidah seperti tentang sifat dan Asma' Allah 141

Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan sebagai berikut: "Ketahuilah, bahwa penelitian yang hasilnya tidak boleh kita menyimpang darinya adalah, bahwa hadits-hadits Ahad yang shahih, diamalkan untuk masalah-masalah ushuluddin sebagaimana ia diambil dan diamalkan untuk masalah-masalah hukum/furu'. Maka, apa yang datang dari Rasul dengan isnad shahih tentang sifat-sifat Allah, wajib diterima dan diyakini dengan keyakinan, bahwa sifat-sifat itu sesuai dengan ke Maha Sempurnaan dan ke Maha Agungan-Nya sebagai-mana firman-Nya:

"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Asy-Syuura: 11).

Dengan demikian, anda menjadi tahu bahwa penerapan para ahli kalam dan pengikutnya bahwa hadits-hadits Ahad itu tidak bisa diterima untuk dijadikan dalil dalam masalah-masalah 'aqidah seperti tentang sifat-sifat Allah, karena hadits-hadits Ahad itu tidak menunjukkan kepada yakin melainkan kepada zhann (dugaan) sementara masalah 'aqidah itu harus mengandung keyakinan. Ucapan mereka itu adalah bathil dan tertolak. Dan cukuplah sebagai bukti dari kebathilannya, bahwa pendapat ini mengharuskan menolak riwayat-riwayat shahih yang datang dari Nabi berdasarkan hukum akal semata.

Imam asy-Syafi'i rahimahullah telah membela madzhab Salaf yang mengambil hadits Ahad untuk semua masalah agama termasuk di dalamnya masalah 'aqidah. Tidak ada keterangan yang menyebutkan, bahwa ia membedakan pemakaian hadits Ahad untuk masalah hukum dan melarangnya untuk masalah 'aqidah, bahkan telah diriwayatkan dari Imam asy-Syafi'i rahimahullah, bahwa ketika ia ditanya oleh Sa'id bin Asad tentang hadits Ru'yah, ia berkata: "Hai Ibnu Asad, hukumlah aku baik aku hidup atau mati, bahwa setiap hadits shahih yang datang dari Rasulullah aku berpendapat dengannya, sekalipun aku tidak mendengarnya langsung."143

Dari ucapannya ini dapat disimpulkan, bahwa Imam asy-Syafi'i rahimahullah menerima hadits dan mengikutinya dengan syarat, hadits itu shahih dari Rasulullah. Penulis telah menyebutkan syarat-syarat diterimanya hadits secara lengkap pada pembahasan yang lalu. Ia tidak membedakan antara hadits Ahad yang ia namakan dengan Khabar Khashshah (riwayat orang-orang khusus) dengan hadits mutawatir yang disebutnya dengan Khabar 'Ammah (riwayat orang-orang umum). Keduanya menurutnya menunjukkan kepada ilmu (yang yakin) dan wajib untuk diamalkan dan diimani.

Ketika ada orang yang meminta kepada Imam asy-Syafi'i rahimahullah argumentasi tentang bisa digunakannya hadits Ahad, argumentasi itu berupa nash syar'i, makna yang menunjukkan kepadanya, atau ijma', maka Imam asy-Syafi'i rahimahullah menyebutkan, di antaranya hadits Ibnu Mas'ud dengan sanadnya, bahwa Nabi bersabda:

"Semoga Allah menganugerahi kebaikan kepada seorang hamba yang mendengar ucapanku, lalu menghafalkannya dan memahaminya serta menyampaikannya (kepada yang lain). Tak sedikit si pembawa suatu ilmu bukan ahli ilmu, dan acapkali si pembawa ilmu menyampaikannya kepada yang lebih faham darinya. Tiga hal yang tidak dikhianati oleh hati seorang muslim, ikhlas beramal karena Allah dan menasehati orang muslim dan senantiasa bergabung dengan jama'ah (barisan) mereka, karena sesungguhnya seruan mereka meliputi (siapa di) belakang mereka."144

Imam asy-Syafi'i rahimahullah berkata:

"Maka ketika Rasulullah menganjurkan kita untuk mendengar ucapannya, memeliharanya serta menyampaikannya kepada yang lain, sedangkan kata "al-Imru'u" itu seorang (tunggal) dengan demikian menunjukkan bahwa Rasulullah tidak menyuruh untuk menyampaikan sesuatu darinya, kecuali apabila ia telah menjadi dasar tegaknya hujjah dan alasan terhadap orang yang menyampaikannya, karena yang disampaikan itu tidak lain adalah yang halal, yang haram, had (hukuman) yang dijalankan, harta yang diambil dan yang dikeluarkan, nasehat tentang din dan dunia."

Ia juga menunjukkan, bahwa terkadang si pembawa suatu ilmu tidak mesti memahami ilmu yang dibawanya itu, sedangkan perintah Rasul pada hadits di atas agar tetap bergabung dengan jama'ah umat Islam merupakan, dalil bahwa ijma' kaum muslimin itu -insya Allah- sebuah kelazhiman.

Lalu Imam asy-Syafi'i rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya hadits Abu Rafi' (pelayan Nabi yang dimerdekakan), katanya: Nabi bersabda:

"Aku tidak ingin menjumpai salah seorang di antara kamu bersandar di tempatnya, datang kepadanya suatu perintah atau larangan dariku, tapi ia berkata, aku tidak peduli itu, apa yang aku dapati dalam Kitabullah, aku akan mengikutmya."145

Imam asy-Syafi'i rahimahullah berkata: "Hadits ini menunjukkan, bahwa hadits Rasulullah harus diambil, sekalipun nash yang sesuai dengan kandungannya tidak di dapati dalam Kitabullah. Tetapi nash itu ada di tempat lain."

Dalil lain yang dikemukakan oleh Imam asy-Syafi'i rahimahullah adalah peristiwa perpindahan arah kiblat yang dilakukan oleh penduduk Quba' ke Ka'bah dengan hadits Ahad.

Dengan sanadnya yang sampai kepada 'Abdullah bin 'Umar, Imam asy-Syafi'i rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu 'Umar:

"Ketika orang-orang di Quba' sedang shalat shubuh, datanglah seseorang, lalu ia berkata: 'Telah turun al-Qur'an kepada Rasulullah, beliau disuruh shalat menghadap Ka'bah.' Maka ketika mendengar berita itu, mereka langsung memutar badannya yang pada waktu itu sedang menghadap ke arah negeri Syam menjadi ke Ka'bah."146

Imam asy-Syafi'i rahimahullah berkata:

"Penduduk Quba' adalah orang-orang Anshar yang senantiasa bersegera kepada ketaatan dan orang-orang yang faham. Pada saat itu mereka sedang menghadap sebuah kiblat yang diwajibkan Allah kepada mereka. Tidak sepatutnya mereka meninggalkan kiblat yang diwajibkan Allah atas mereka, kecuali setelah tegaknya hujjah atas mereka.

Pada saat itu mereka belum menemui Rasulullah dan belum mendengar ayat yang diturunkan Allah dalam perubahan kiblat tersebut atau mendengar dari sejumlah orang, namun mereka berpindah (arah kiblat) dengan berita dari satu orang yang jujur yang membawa berita dari Nabi bahwa beliau telah mengadakan perubahan arah kiblat.

Mereka tidak melakukannya karena berita dari satu orang, melainkan karena mereka tahu dan yakin, bahwa berita dari seorang yang jujur seperti itu harus dipercaya dan diterima sebagai dalil atau hujjah. Mereka juga tidak membuat satu hal besar seperti ini dalam agama, melainkan atas dasar ilmu dan keyakinan bahwa mereka boleh membuat hal itu, mereka tidak tinggal diam akan tetapi mereka memberitahukan apa yang diperbuatnya (yaitu) berupa pindahnya arah kiblat kepada Rasulullah. Dan jika berita satu orang tentang perpindahan arah kiblat yang mereka terima itu hanya sekedar boleh diambil, tentu Rasulullah akan berkata kepada mereka:

"Kamu sedang menghadap kiblat, jangan kamu pindah arah kecuali setelah mengetahui dan yakin mendengarnya dariku atau dari orang banyak atau lebih dari satu orang."147

Imam asy-Syafi'i rahimahullah menyebutkan beberapa hadits yang menunjukkan wajibnya mengamalkan atau mengambil hadits Ahad dan la menunjukkan kepada llmu yang yakin dan qath'i (pasti). Dia juga menyebutkan beberapa dalil yang membuktikan hal itu.

Berkata Imam asy-Syafi'i rahimahullah:

"Rasulullah telah mengutus Abu Bakar sebagai pimpinan pada musim haji tahun ke-9 yang diikuti oleh jama'ah yang jumlahnya banyak dari berbagai negeri. Abu Bakar menjalankan haji bersama mereka dan memberitahukan kepada mereka apa yang dibawa oleh Rasulullah 31 tentang perintah dan larangan. Pada tahun itu, Rasulullah juga mengutus Ali bin Abi Thalib untuk membacakan kepada mereka pada hari Nahar, rangkaian ayat dan surat Bara'ah (surat at-Taubah) dan menyampaikan pernyataan bahwa, apabila orang-orang kafir melanggar perjanjian, maka mereka (umat Islam) pun melakukannya dan 'Ali ketika itu melarang beberapa hal.

Baik Abu Bakar maupun 'Ali dikenal oleh penduduk Makkah sebagai orang yang memiliki keutamaan jujur, takwa dan taat beragama, sedang jamaah haji yang tidak mengetahui tentang sifat keduanya diberitahukan oleh jamaah lain yang mengetahuinya.

Jadi, Rasulullah tidak mengutus orang saat itu kecuali hanya satu orang dan hanya hujjah itu berdiri tegak pada orang yang diutus, hanya dengan berita dari seorang utusan itu. Rasulullah pun telah mengirim para sahabat ke berbagai negeri yang nama dan tempat tugasnya masmg-masing dari mereka telah kita kenal.

Di antara orang yang ditugaskan adalah, Qais bin 'Ashim, az-Zibriqan bin Badr dan Ibnu Nuwairah. Mereka ditugasi untuk mendakwahi suku dan keluarga mereka masing-masing, karena telah diketahui kejujuran mereka.

Datanglah kepada mereka utusan Bahrain. Maka, mereka pun mengetahui orang yang ada dalam rombongan itu, kemudian diutuslah bersama kepada mereka Ibnu Said bin al-’Ash.

Rasulullah juga mengutus Mu'adz bin Jabal ke negeri Yaman agar bersama orang-orang yang taat kepada Rasul la memerangi orang yang membangkangnya dan mengajari penduduk Yaman tentang apa yang difardhu-kan kepada mereka serta mengambil zakat yang harus mereka keluarkan. Karena kedudukan dan kejujuran Mu'adz sudah terkenal dan kalangan mereka.

Dan setiap orang yang diberi tugas oleh Rasulullah diperintahkan untuk mengambil/memungut apa yang telah diwajibkan Allah atas mereka. Dan tidak ada seorang pun dari mereka yang saya ketahui ketika datang seorang jujur yang ditugasi oleh Rasulullahitu (untuk menyampaikan suatu berita atau perintah), ia berkata: 'Kamu itu satu orang. Jadi kami tidak mempercayaimu tentang apa yang tidak kami dengar langsung dari Rasulullah. 148

Telah diketahui, bahwa misi utama yang dibawa oleh para utusan Rasulullah itu lalah Tauhid, sebagaimana secara tegas kita jumpai dalam hadits Mu'adz bin Jabal.

Imam asy-Syafi'i rahimahullah berkata:

"Rasulullah telah mengutus sejumlah pemimpin pasukan, yang masing-masing dari mereka ditugasi untuk berdakwah dan menyampaikan apa yang dibawa oleh Rasul. Mereka harus menyampaikannya kepada orang yang belum mendengar dakwah Islam dan memerangi orang yang halal dibunuh (orang-orang yang menghalangi jalan dakwah). Demikian pula setiap wali dan pemimpin pasukan yang diutusnya.

Beliau juga sempat mengutus dua orang utusan, tiga, empat orang atau lebih dan ltu. Dalam satu tahun, Rasul pernah mengutus 12 orang utusan kepada 12 orang raja untuk mengajak mereka kepada Islam.

Dan masih saja surat-surat Rasulullah yang dikirim kepada para gubernurnya yang berisi perintah dan larangan dilaksanakan. Tidak ada se-orang pun dari para gubernur itu yang tidak melaksanakannya. Dan beliau tidak mengutus seorang utusan melainkan seorang yang jujur dan dikenal di kaumnya.

Begitu pula dengan surat-surat para Khalifah sesudah beliau dan para Gubernur mereka. Sementara itu, telah menjadi kesepakatan kaum muslimin bahwa Khalifah yang mereka angkat pun hanya satu orang, Hakim juga satu orang, Panglima dan Imam pun demikian. Mereka mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah, lalu Abu Bakar memilih 'Umar sebagai penggantinya, lalu 'Umar mengangkat Majlis Syura agar memilih salah seorang di antara mereka sebagai Khalifah, maka 'Abdurrahman bin 'Auf memilih 'Utsman bin 'Affan.

Imam asy-Syafi'i rahimahullah berkata:

"Ketika didapat pada surat keluarga 'Amr bin Hazm, ucapan Rasulullah yang berbunyi: "Pada setiap jari tangan (jika dipatahkan) wajib diganti dengan 10 ekor unta, maka orang-orang langsung mengambil hadits itu, padahal sebelumnya mereka menolaknya karena belum tahu bahwa ucapan itu adalah ucapan Rasulullah

Hadits tersebut menunjukkan kepada dua hal:

1. Diterimanya (berita) tersebut.
2. Hadits diterima manakala shahih, sekalipun para imam belum mengamalkan sebagaimana berita yang mereka terima. 150

Peristiwa itu juga menunjukkan, bahwa sekiranya seorang imam mengamalkan sesuatu, lalu ia mendapatkan satu hadits dari Rasul yang bertentangan dengan apa yang dikerjakannya, maka ia harus meninggalkannya dan mengambil hadits itu. Peristiwa itu juga menunjukkan, bahwa hadits Rasulullah itu shahih dengan sendirmya bukan karena pengamalan orang terhadapnya.151

Selanjutnya, Imam asy-Syafi'i rahimahullah menyebutkan contoh yang banyak dari al-Qur'an dan as-Sunnah atas wajibnya mengamalkan hadits Ahad dilengkapi dengan menyebutkan ijma' Sahabat atas hal itu. Beliau berkata: "Seandainya seseorang boleh mengatakan dalam ilmu khusus (hadits Ahad), bahwa umat Islam dahulu maupun sekarang telah bersepakat atas diakuinya hadits Ahad sehingga tidak ada seorang ahh fiqih pun yang tidak mengakumya, maka aku akan mengatakannya."152

Yang jelas, Imam asy-Syafi'i rahimahullah mewajibkan menggunakan hadits Ahad dalam seluruh perkara agama, dengan tidak ada pembedaan baik masalah 'aqidah maupun masalah lainnya, sebagaimana hal itu telah dijelaskan dalam contoh-contoh yang dikemukakannya.

E. HUKUM MENOLAK HADITS AHAD.

Imam asy-Syafi'i rahimahullah berkata:

"Menurut hemat saya, tidak boleh bagi seorang ulama untuk menetapkan banyak hadits Ahad, kemudian ia menghalalkan dan mengharamkan sesuai dengannya, akan tetapi la juga menolak hadits sepertinya (dalam beberapa hal) kecuali jika ia memiliki hadits yang bertolak belakang dengannya akan lebih kuat atau orang yang riwayat-nya diambil lebih tsiqah (terpercaya) bagmya dan orang yang meriwayatkan kepadanya dengan riwayat yang berbeda, atau orang yang meriwayatkannya bukan hafizh (orang yang hafal hadits). Atau orang itu dicurigai/dituduh berdusta atau perawi yang di atasnya tertuduh (berdusta) atau karena hadits itu mengandung kemungkinan dua makna hingga dita'wil dan salah satu maknanya diambil. Bila tidak karena alasan ini, maka apa yang diperbuatnya itu adalah satu kesalahan yang tidak bisa dimaafkan. Wallhua a’lam 153

Syaikh al-Islam rahimahullah dalam karangannya yang berjudul "Rafu al-Malam min A'immati al-A'lam" telah menyebutkan 10 sebab mengapa ulama tidak mengambil/mengamalkan hadits Nabi, insya Allah jika terdapat salah satu sebab pada mereka, dapat dimaklumi. Di antara sebab itu adalah:

1. Hadits itu tidak sampai kepadanya.
2. Hadits itu sampai kepadanya tetapi menurutnya hadits itu tidak shahih karena lupa atau salah menilai, atau karena ia tidak menemukan makna yang dimaksudnya saat berfatwa, atau ia meyakini hadits itu tidak mengandung makna yang dimaksud.
3. Meyakini, bahwa hadits tersebut bertentangan dengan sesuatu yang menunjukkan kelemahannya atau menunjukkan, bahwa hadits itu telah mansukh (tidak berlaku/ dihapus), atau harus di ta'wil.154

Maka nyatalah, bahwa setiap keadaan punya hukum tersendiri. Orang yang menolak hadits karena sebab mi, maka ia bisa dimaklumi. Tetapi yang menolaknya tanpa alasan kecuali hanya fanatik saja, maka hal itu tidak di-perbolehkan. Wallahu a'lam.

119 Lihat Syarah Nukhbatu al-Fikri oleh al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah (hal. 4-8 ), al-Ahkam oleh Imam al-Amidi rahimahullah (2/31), lafazh al-Amidi adalah: "Yang lebih pasti untuk hadits Ahad ialah, salah satu hadits yang tidak sampai ke tingkatan mutawatir."
120 Lihat ar-Risalah (hal. 357-359).
121 Ibid (hal. 478).
122 Syaikh Ahmad Muhammad Syakir rahimahullah mengomentari ucapan Imam asy-Syafi'i rahimahullah sebagai berikut: "Lihatlah kitab Ikhtilaf al-Hadits Imam asy-Syafi'i dengan Hasyiah (juz 7 hal. 2-38 ), dari kitab al-Umm, juga ucapannya pada kitab Jima'al-'Ilm' berkenaan dengan penuturannya ini." Syaikh Syakir berkata: "Siapa saja yang memahami ucapan Imam asy-Syafi'i rahimahullah pada bab ini, pasti ia akan mendapati, bahwa Imam asy-Syafi'i telah merangkum kaidah-kaidah yang shahih tentang ilmu al-Hadits (al-Mushthalah), dan bahwa dialah yang pertama kali menjelaskan secara jelas tentangnya, dia juga sebagai pembela hadits yang paling unggul serta orang yang berargumentasi tentang wajibnya mengamalkan Sunnah, Imam asy-Syafi'i juga memberi bantahan terhadap orang-orang yang menentang dan menolak hadits. Benarlah penduduk Makkah yang menggelari Imam asy-Syafi'i rahimahullah dengan gelar Nashir as-Sunnah (Pembela Sunnah), semoga Allah meridhainya." Lihat ar-Risalah (hal. 369).
123 Lihat syarat-syarat hadits dalam kitab Ikhtishar 'Ulum al-Hadits (hal. 10) dan kitab Tadrib ar-Rawi (hal. 22), juga kitab Lamahaatfi Ushul al-Hadits (hal. 11).
124 Dia adalah Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj bin 'Abdul 'Aziz Abu Bakar al-Marwadzi, sahabat Imam Ahmad yang terkemuka karena wara' dan keutamaannya. Ia meriwayatkan banyak masalah dari Imam Ahmad, wafat tahun 275 H. Lihat Kitab Tabaqat al-Hanabilah (juz-1/56).
125 Lihat Mukhtashar ash-Shawa'iq (hal. 363) dan al-Maudhu (hal. 355-446).
126 Mukhtasar ash-Shawa'iq (hal. 363).
127 Al-Ahkam (juz-1/107). Lihat pula Mukhtashar ash-Shawa'iq (hal. 487).
128 la adalah Husain bin 'AH bin Yazid al-Karabisi, seorang yang sangat jujur dan mulia. Ahmad bin Hanbal mengomentarinya dalam masalah lafazhku dengan al-Qur'an adalah makhluk, katanya: "Ini adalah bid'ahnya aliran Jahmiyah." la wafat pada tahun 248 H. Lihat at-Taqrib (1/337).
129 Lihat al-Muswaddah (hal. 240) dan Mukhtashar ash-Shawa'iq (hal. 480).
130 Lihat Kitab Tadrib ar-Rawi (1/132) dan Syarah Shahih Muslim (1/20).
131 Lihat al-Ahkam oleh al-Amidi (2/32).
132 Lihat kitab Irsyad al-Fuhul (hal. 49).
133 Lihat Majmu al-Fatawa (18/41-48 ).
134 Lihat Syarh al-Kaukab al-Munr (2/248-249).
135 Lihat Ushul Madzhabal-Imam Ahmad (269-286).
136 Lihat kitab Akhbar Ahadfi al-Hadits an-Nabawi (hal. 55).
137 Al-Ahkaam oleh al-Amidi (2/64), Irsyad al-Fukul (hal. 48-49).
138 Lihat al-Kifayah (hal. 72).
139 Lihat Syarh Ushul al-Khamsah (hal. 269 dan 672).
140 Syarh al-Kaukab al-Munir (2/352) dan Lawami al-Anwar al-Bahiyah (1/19).
141 Lihat Mukhtashar as-Shawa'iq (2/412).
142 Lihat Mudzakarah fi Ushul al-Fiqh (hal. 104-105).
143 Lihat Kitab Manaqib asy-Syafi'i (1/421).
144 Hadits mi diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi (No. 2794), Ibnu Majah (1/85), Ahmad dalam musnadnya (4157), dengan tahqiq Ahmad Syakir. Hadits ini juga diriwayatkan dengan riwayat yang banyak hingga sampai ke tingkat mutawatir. Syaikh 'Abdul Muhsin al-Abbad dalam risalahnya: Dirasah Hadits nadhdbarallah Imra'an Sami'a Maqalati Riwayatan wa Dirayatan.
145 Hadis diriwayatkan Imam Ahmad (4/130-131), Ad Darimi (1/144), Abu Dawud (4/328), At tarimizi (2/111, ia menghasankan nya, Ibnu Majah (1/5) dan disahihkan oleh Syeikh Ahmad Syakir dalam Ar Risalah (91)
146 Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam as-Shalat (1/157), Muslim dalam as-Shaleh (1/148), yang terdapat dalam al-Umm (1/81).
147 Lihat Kitab ar-Risalah (hal. 401-408)
148 Ibid (hal. 414-417).
149 Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah berkata: "Surat Ahli (keluarga) 'Amr bin Hazm me-retaken surat berharap yang ditulis oleh Rasul untuk penduduk Yaman. Beliau mengirim nya melalui 'Amr bin Hazm. Kemudian surat itu sampai kepada keluarga 'Amr, lalu orang-orang mengambil darinya. Tentang tersambung atau terputusnya isnad hadits ini dikomentari oleh para ulama dengan cukup panjang. Yang rajih dan shahih bahwa hadits ini muttashil (bersambung) dan shahih. Saya telah menjelaskan hal itu dalam Hasyiah sebagian kitab. Sementara Imam Hakim rahimahullah menyebutnya dengan panjang lebar dalam kitab al-Mustadrak (1/395-397). la menshahihkannya yang dikutip oleh asy-Suyuthi dalam kitab ad-Durr al-Mantsur (1/343). Lalu as-Suyuthi menyebutkan Imam yang mengeluarkannya, lihat ar-Risalah (hal. 423). Ibnu 'Abdil Barr rahimahullah berkata: "Surat Ibnu Hazm di-riwayatkan dengan sanadnya melalui jalur yang baik. Sebuah surat yang cukup dikenal bagi para ahli shirah dan ulama sehingga tidak perlu isnadnya disebutkan. Lihat kitab al-Muwaththa' (1/199).
150 Lihat Ar-Risalah (hal. 417-423)
151 Ibid (hal. 424).
152 Ibid (hal. 457).
153 Ibid (hal. 459-460).
154 Majmu'al-Fatawa (20/232). Lihat Mukhtashar Sbawa'iq al-Mursalah (2/370) dan Lawami'
al-Anwar al-Bahiyyah (1/19-20).

sumber: bicaramuslim.com

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar