Kamis, 19 Agustus 2010

PERKATAAN IBNU AL -JAUZI (597 H ) TENTANG KITAB IHYA ULUMUDDIN

Beliau berkata dalam (kitab) Al Muntazham jilid 9 hal 169-170:

Beliau (Al Ghazali) mulai menulis kitab Al Ihya di kota Al Quds (palestina) kemudian menyempurnakannya di Damaskus. la menulis dengan mendasarkan kepada aliran sufi serta meninggalkan pemahaman yang benar dalam penulisan (kitabnya) tersebut.

Sebagai contoh, seseorang yang ingin menghapus kewibawaanya (agar tidak dihormati) dan berusaha menahan hawa nafsunya, maka dia masuk kamar mandi dan memakai baju yang bukan miliknya, kemudian memakai bajunya di atas baju (yang bukan miliknya tadi), lalu ia keluar sambil berjalan perlahan-lahan sehingga orang-orang mendapatinya, kemudian mereka pun mengambil pakaian tersebut darinya dan kemudian dia dinamakan 'pencuri kamar mandi'.

Cara seperti ini dalam mengajar murid adalah cara yang buruk karena pemahaman yang benar menghukuminya dengan keburukan. Hal itu disebabkan bahwa kamar mandi itu memiliki penjaga, maka pencuri tersebut (seharusnya) dipotong (tangannya). Selain itu tidak halal bagi seorang muslim untuk melakukan sesuatu yang membuat orang tergoda untuk menzhalimi haknya.

Dan ia menyebutkan bahwasanya seorang lelaki membeli daging dan ia malu membawa daging tersebut ke rumahnya, maka ia meggantungkannya di leher dan berjalan. Ini juga termasuk sebuah keburukkan (yang ada dalam Ihya) dan yang seperti itu banyak sekali, namun bukan di sini tempat untuk menjelasannya.

Sungguh telah saya kumpulkan kesalahan-kesalahan kitab ini (dalam sebuah karangan tersendiri dan sayaa beri judul I'IamuI Ahya bi Aghlaathil Ihya dan saya juga telah menyinggung sebagian hal tersebut dalam kitab saya yang berjudul Talbis Iblis.

Juga seperti apa yang tersebut di dalam kitab An Nikah (di Ihya) bahwasanya Aisyah berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, "Engkaulah yang mengaku bahwa engkau adalah utusan Allah." Pernyataan ini tidak mungkin (diucapkan oleh 'Aisyah).

Sesungguhnya yang menyebabkan berpalingnya (Al Ghazali) dari pemahaman yang benar dalam apa-apa yang dia tulis adalah karena ia menekuni (aliran) sufi dan dia berpendapat bahwa keadaan orang-orang sufl itu adalah sebagai tujuan.

Ia berkata, "Sesungguhnya saya mengambil metode ini dari Abu Ali Al Farmadzi.1 Saya mengikuti apa yang telah ditunjukkan olehnya berupa kewajiban-kewajiban dalam peribadatan dan terus-menerus (istimrariyah) dalam zikir se-hingga saya berhasil melalui rintangan-rintangan (dalam peribadatan) itu walaupun saya dibebani kesulitan. Namun saya tetap tidak mendapatkan apa yang saya cari." Kemudian ia melihat kitab Abu Thalib Al Makki2 dan perkataan orang-orang sufi yang terdahulu, sehingga ia lebih tertarik kepadanya daripada apa yang dituntut oleh pemahaman yang benar.

Dia membawakan hadits-hadits yang maudlu' (palsu) di dalam kitab Al Ihya dan tidak sedikit pula hadits-hadits yang tidak sah, hal itu disebabkan karena kurangnya pengetahuan dia tentang hadits. Maka alangkah baiknya apabila ia memperlihatkan terlebih dahulu hadits-hadits tersebut kepada mereka yang mengetahuinya. Akan tetapi (dalam hal ini) ia hanyalah menukil, sebagaimana seorang pencari kayu bakar yang mencari kayu bakarnya di malam hari.

Dahulu sebagian orang sangat mencintai kitab Al Ihya, oleh karena itu saya jelaskan kepada mereka aib-aibnya, kemudian saya tulis untuk mereka kitab yang seperti itu (kitab Minhajul Qashidin) dan saya buang apa-apa yang mesti dibuang dan saya tambah apa yang pantas untuk ditambah.

Dalam kitab Shaidul Khathir hal. 374 ketika berbicara tentang kesalahan-kesalahan Al Ghazali di dalam sejarah, beliau (Ibnul Jauzi) berkata:

Saya melihat hal-hal yang membingungkan dalam kitab Ihya' Ulumudin karya Al Ghazali yaitu percampuran antara hadits-hadits dan sejarah-sejarah, maka saya kumpulkan kesalahan-kesalahannya di dalam suatu kitab.3

Beliau (Ibnul Jauzi) berkata dalam (kitab) Talbis Iblis (hal 186):

Abu Hamid Al Ghazali datang (kepada suatu kaum), kemudian menulis Kitab Al-Ihya bagi mereka berdasarkan metode kaum sufi dan memenuhiniya dengan hadits-hadits yang batil yang ia tidak mengetahui kebatilannya. la juga berbicara tentang ilmu mukasyafah yang telah keluar dari pemahaman yang benar. Dan ia (Al Ghazali) berkata,

"Sesungguhnya maksud dari bintang matahari dan bulan yang dilihat oleh Nabi Ibrahim shalawatullah 'alaihi adalah cahaya-cahaya yang merupakan hijab (tabir) Allah Azza wa Jalla dan bukannya (hakiki) seperti apa yang kita telah ketahui dan ini termasuk dalam bentuk ucapan para pengikut aliran Bathiniyyah."

Beliau (Ibnul Jauzi) berkata dalam Minhajul Qaashidiin (hal. 3 dalam ringkasannya)4:

Ketahuilah bahwasanya dalam kitab Al Ihya ini terdapat kerusakan-kerusakan yang hanya dapat diketahui oleh para ulama. Yang terkecil dari kerusakan tersebut adalah terdapatnya hadits-hadits yang batil, maudlu' dan mauquf kemudian ia menjadikannya marfu'. Dan ia hanya menukil sebagaimana yang telah ia terima, bukan karena ia (sengaja) berdusta dengannya. Tidak sepantasnya seseorang beribadah dengan hadits maudlu' (palsu) dan tertipu dengan lafazh yang dibuat-buat.

Bagaimanakah saya bisa ridla terhadapmu yang shalat sepanjang siang dan malam padahal tidak ada satu kata pun dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang menerangkan tentang hal itu? Bagaimanakah saya membiarkan telingamu mendengar ucapan orang-orang sufi yang dikumpulkan dan dianjurkan (oleh Al Ghazali) untuk diamalkan sesuatu yang tidak ada manfaatnya, baik berupa perkataan-perkataan mereka tentang kebinasaan, kekekalan, perintah untuk berlapar-lapar, keluar untuk mengembara tanpa keperluan dan masuk ke padang luas tanpa membawa bekal?

Selain itu saya telah menyingkap kekeliruannya dalam kitab saya yang berjudul Talbis Iblis dan saya akan menulis bagimu suatu kitab (yaitu Minhajul Qaashidiin) yang bersih dari kerusakan-kerusakan dan tidak kosong dari faedah.

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar