Saudaraku, sebelum mempelajari sebuah ilmu maka ada beberapa hal yang harus diketahui oleh para penuntut ilmu. Yang harus diingat adalah para murid harus membersihkan jiwanya terlebih dahulu dari akhlak yang hina dan sifat yang tercela. Sebab ilmu adalah ibadah hati, maka untuk mendapatkan ilmu tersebut maka sang murid harus membersihkan hatinya dari sifat-sifat tercela. Adalah wajib bagi para penuntut ilmu untuk mengetahui kedudukan para ulama dan adab-adab dalam menuntut ilmu kepada para ulama agar apa yang dipelajari dalam menuntut ilmu tersebut bisa menjadi berkah dan menjadi sesuatu yang bisa diamalkan.
Kedudukan Ahli Ilmu (ulama) dalam Islam
Ketahuilah, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,” Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (Al-Mujadalah: 11). Dari Abu Darda’, Nabi shalallahu alaihissalam bersabda,” Keutamaan orang alim atas orang ahli ibadah laksana keutamaan bulan atas seluruh bintang pada malam purnama. Ulama adalah pewaris para Nabi. Bahwasanya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, hanya saja mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang dapat mengambilnya, maka ia mendapatkan bagian kebaikan yang melimpah ruah. (Hr. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ad-Darimi. Hadits Hasan)
Maka ketahuilah wahai saudaraku bahwa kedudukan ulama di dalam Islam demikian tingginya, karena jasa mereka (para ulama Rabbani) inilah maka pada hari ini kita masih bisa mendengar ayat-ayat Allah dibacakan, serta hadits-hadits Rasulullah diamalkan. Mereka adalah pintu menuju gerbang kebenaran, pewaris dari ilmu Nabi.
Maka adalah kewajiban kita untuk menjaga agar ilmu yang ada pada mereka tidak hilang percuma. Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu berkata, “ Di antara hak orang yang berilmu atas dirimu adalah: hendaklah engkau mengucapkan salam kepada semua yang hadir (dalam majlisnya), memberi salam hormat secara khusus kepadanya, duduk dihadapannya, tidak menunjuk dengan tangan ke arahnya, tidak memandang secara tajam kepadanya, tidak terlalu banyak mengajukan pertanyaan, tidak membantunya dalam menjawab pertanyaan, tidak memaksanya jika ia letih, tidak mendebatnya jika ia tidak menginginkannya, tidak memegang lengan bajunya jika ia hendak bangkit, tidak membocorkan rahasianya, tidak menggunjingnya di hadapan orang lain, tidak mencari-cari kesalahannya, jika ia salah bicara harus dimaklumi, tidak boleh berkata di hadapannya,” kudengar fulan berkata begini, yang berbeda dengan pendapatmu.”
Jangan katakan di hadapannya bahwa ia adalah seorang ulama, jangan terus menerus menyertainya, jangan sungkan-sungkan untuk berbakti kepadanya, jika diketahui ia mempunyai suatu keperluan maka keperluan itu harus segera dipenuhi. Kedudukan dirinya seperti pohon kurma, sedangkan engkau menunggu-nunggu apa yang jatuh darinya.” Imam Syafi’i berkata,” Takkan kau dapatkan ilmu kecuali dengan enam hal yang akan ku sebutkan berikut ini; kecerdasan, semangat keras, rajin dan ulet, ada biaya yang cukup, bersahabat dengan guru dan waktu yang lama.” Imam Syafi’i berkata,” Terimalah cacian gurumu dengan hati yang lapang dan penuh kesabaran, karena ilmu gurumu hanya akan dapat engkau terima dengan cara menyerahkan dirimu sepenuhnya kepadanya. Barangsiapa yang tidak pernah merasakan pahit getirnya menuntut ilmu, meskipun sedetik, tentulah ia akan terjerumus kedalam kebodohan seumur hidupnya…”
Apa Kewajiban kita terhadap para ulama?
1. Menjaga kedudukan ulama dan menghormati mereka. Pergaulan para salaf terhadap ulama mereka adalah contoh terbaik bagi kita, dan pantas kita ikuti. Karena adab sopan santun yang mereka gariskan dalam menuntut ilmu mengandung cahaya. Al-Iraqi berkata,” Kurang layak seseorang berbicara di hadapan orang yang lebih mulia daripadanya.” Yahya bin Ma’in berkata,” Orang yang banyak berbicara dimana disitu ada orang yang lebih baik pembicaraannya, maka dia adalah bodoh.” Ash-Shuluki berkata,” Barangsiapa yang membantah gurunya dengan kata – kenapa – sengaja menghina – maka ia tidak akan bahagia selama-lamanya.” Dari Abu Wail diriwiyatkan bahwa Ibnu Mas’ud pernah melihat seorang lelaki yang memanjangkan kainnya hingga ke bawah mata kaki. Maka beliau berkata kepadanya,” Tinggikanlah kainmu” .” Bagaimana denganmu wahai Ibnu Mas’ud?!” Beliau menjawab,” Kedua betisku ceking sekali (kurus karena cacat), sementara aku mengimami orang-orang dalam shalat.” Berita itu sampai kepada Umar. Umarpun langsung memukul lelaki itu dan berkata,” Apakah engkau berani membantah Ibnu Mas’ud?” Thawus bin Kaisan berkata,” Termasuk Sunnah Rasul adalah orang alim harus dihormati.”
2. Kita mengetahui bahwa selain para Nabi dan malaikat, maka tidak ada yang ma’sum. Maka berdasarkan kaidah ini orang fasik selalu mencari kesalahan orang alim (ulama). Kita menerima alasan mereka (ulama) ketika mereka bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga dan pikiran untuk membuat keputusan suatu hukum tapi ternyata salah, maka dari itu kita tidak boleh mencari-cari kesalahan ulama dan menghitungnya. At-Tirmidzi berkata,” Tidak ada yang bebas dari salah dan khilaf walaupun dari pembesar ulama, sekalipun mereka telah menjaga akan hal itu.” Ibnu Hibban berkata,” Dan bukannya suatu keinsafan atas kebenaran, kita meninggalkan pemikiran ulama yang telah nyata keadilannya dan kita meragukan riwayatnya, kalau kita berjalan dengan cara ini , niscaya kita akan meninggalkan riwayat Az-Zuhri, Ibnu Juraij, Ats-Tsauri dan Syu’bah, karena mereka yang mempunyai hafalan yang kuat dan pasti kebenarannya, meskipun mereka itu tidak ma’sum, sehingga mereka dapat juga diragukan riwayatnya.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menulis dalam kitabnya Raf’ul malam’anil A’imatil A’lam,” Perlu diketahui bahwa tidak seorangpun dari imam yang mendapat penerimaan umum dari kalangan umat sengaja menyalahi sunnah Rasul Allah Subhana wata’ala. Baik yang terkecil maupun yang terang-terangan. Mereka betul-betul sepakat secara menyakinkan atas kewajiban mengikuti Rasul dan bahwa setiap orang ada yang dapat diambil pendapatnya dan ada yang ditinggalkan…”
3. Khilaf (perbedaan pendapat) tentang masalah furu’iyah yang terjadi diantara ulama pada masa sekarang sudah terjadi sejak masa para sahabat sampai hari kiamat. Oleh karena demikian maka wajib bagi kita untuk berlapang dada terhadap perbedaan pendapat yang terjadi diantara para ulama. Karena setiap orang dari mereka kadang-kadang mempunyai tingkat pemahaman yang berbeda dalam memahami suatu perkara. Maka sudah kodratnya jika ada perselisihan diantara mereka, namun perselisihan (perbedaan pendapat) dikalangan ulama tersebut tidak menjadikan mereka berpecah. Berkata Imam Syafi’i dalam kitab Ar-Risalah,” Mengenai kami berbeda pendapat tentang hadits dari Rasul Allah yang benar-benar berasal dari beliau, saya berharap Insya Allah itu tidak akan diperhitungkan dari kami. Hal itu bukanlah karena kesalahan seseorang, tetapi karena seseorang barangkali tidak mengetahui sunnah sehingga mempunyai pendapat yang menyalahinya, yang tidak sengaja untuk menyalahinya, barangkali seseorang lalai dalam penafsiran.” Kita ambil contoh perbedaan pendapat yang terjadi pada ulama sekarang,seperti antara Syaikh Albani dan Syaikh Bin Bazz tentang masalah hukum cadar, tapi walaupun mereka berbeda pendapat dalam suatu masalah akan tetapi hal itu tidak menghalangi mereka untuk saling memuji dan menghormati ilmu masing-masing.
4. Mengamalkan Sunnah Rasulullah yang disampaikan ulama dengan baik. Agar selamat dari fitnah maka kita harus mengamalkan ajaran-ajaran Rasulullah yang telah disampaikan oleh para ulama, meskipun kita tidak harus selalu mengambil ucapan (pendapat) dari para ulama tersebut. Dengan kata lain kita tidak harus selalu menggunakan setiap pendapat dari ulama. Karena ada perbedaan yang besar antara tidak mengambil pendapat orang alim (apabila ada dalil atau bukti yang masih diperselisihkan) dengan menolak perkataan dari orang alim padahal sudah jelas hujjah/bukti dari hadits nabi. Dengan kata lain meski kita boleh untuk tidak menerima pendapat / perkataan seorang ulama oleh karena kita mungkin menemukan dalil/hujjah yang lebih kuat dari apa yang diucapkan oleh ulama tersebut, maka kewajiban kita adalah tetap menghormati mereka, tidak boleh mencaci kehormatan mereka dan menggunjingnya. Imam Syafi’i mengatakan,” Umat Islam sepakat bahwa siapa yang melihat jelas Sunnah Rasul Allah Shalallahu ‘alaihi wa sallam ia tidak boleh meninggalkannya karena pendapat seseorang.” Abu Dawud mengatakan,” Aku pernah berkata kepada Imam Ahmad; apakah aku akan mengikuti Al-Auza’i atau Malik? Ia menjawab; janganlah kamu bertaklid kepada mereka dalam masalah agama. Ambillah apa yang berasal dari Rasul salallahu ‘alaihi wa sallam dan dari shahabatnya dan setelah itu dari tabi’in, dan untuk yang terakhir ini orang boleh memilih.” Imam Ahmad mengatakan,” Janganlah bertaklid kepadaku dan jangan bertaklid kepada Malik atau Abu Hanifah atau kepada Syafi’i atau kepada Al-Auza’i atau kepada Tsauri. Ambillah darimana mereka mengambil, termasuk kepicikan pemahaman seseorang apabila bertaqlid dalam agama kepada banyak orang.
5. Tidak mencela salah seorang ulama hanya karena ulama tersebut berbeda pendapat dengan ulama panutan kita selama hal itu menyangkut masalah ijtihadiyah dan furu’iyah. Yunus Ash-Shadafi pernah menyatakan,” Aku tidak pernah mendapatkan orang yang lebih jenius dari Imam Syafi’i. Suatu kali aku berdiskusi dengan beliau tentang suatu persoalan, namun kami tidak menemukan titik temu. Beliau lalu menemuiku lagi dan menggandengku seraya berkata; Wahai Abu Musa, apakah tidak sepantasnya kita untuk tetap bersaudara, meskipun kita tidak menemukan titik temu di antara kita dalam suatu masalah?”
Maka ketahuilah wahai saudaraku, bahwa musuh-musuh Islam ketika ingin menghancurkan Islam tidaklah mereka menjelek-jelekkan Dinul Islam ini. Akan tetapi yang pertama sekali mereka serang adalah pribadi pembawa bendera risalah ini, karena mereka tidak akan menemui kelemahan pada Islam. Maka pribadi para ulamalah yang mereka serang yaitu dengan cara membongkar dan mencari-cari kesalahan ulama. Ketika mereka tidak menemukan kesalahan dalam perkataan para ulama, maka mereka akan mencari-cari kesalahan pada keluarganya, dan ketika mereka tidak menemukan kesalahan pada keluarganya, maka mereka akan mencari-cari kesalahan pada murid-muridnya. Kalau mereka tidak menemukan kesalahan pada ulama tersebut maka musuh-musuh Islam ini akan membuat-buat fitnah. Maka kau akan melihat wahai saudaraku banyaknya ulama terfitnah karena sesuatu yang tidak ada mereka katakan dan kerjakan. Maka ketahuilah ketika kau mengghibah seorang ulama tidaklah sama akibatnya ketika kau mengghibah saudaramu. Karena ketika kau mengghibah saudaramu efeknya hanya pada saudaramu tersebut. Tetapi ketika kau mengghibah ulama maka kau akan melihat akan tersebarnya fitnah, terhalangnya orang dari menuntut ilmu akibat perkataan jelek mu kepada ulama tersebut, dan yang paling parah adalah ditolaknya perkara yang hak (Al-Qur’an dan Sunnah) yang dibawa ulama tersebut, maka berhati-hatilah ketika kau berbicara dan membicarakan seorang ulama. Karena seperti perkataan Abdullah bin Abbas,” Barangsiapa menyakiti fakih ( ulama ), maka berarti menyakiti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Barangsiapa menyakiti Rasulullah berarti menyakiti Allah Subhana wa ta’ala.”
Selesai ditulis di :
Padang, 6 April 2004
Maraji’
Terjemahan dari kitab:
1. Minhajul Qasidin oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi.
2. Diwan Al-Syafi’I li Abi Abdillah Muhammad ibn Idris Al-Syafi’I oleh Muhammad ‘Afif Al-Za’bi.
3. Hallil Muslim Mulzamun bit Tiba’I Madzhabin Mu’ayyanin Minal Madzhahibil Arba’ah oleh Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi Al-Khajandi
4. Luhumul ‘Ulama-I Masmuumatun oleh DR. Nashir Al-Umar.
5. Aina Nahnu min Akhlaqis Salaf oleh Abdul Aziz bin Nashir Al-Jalil Baha-uddien ‘Aqiel
Minggu, 22 Agustus 2010
ADAB BAGI PARA PENUNTUT ILMU
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar